Oleh : Drs. H. Aprizaldi
“Hai orang-orang yang beriman, makanlah diantara rizki yang baik-baik yang telah Kami berikan kepadamu. Dan bersyukurlah kepada Allah, jika benar-benar hanya kepada-Nya kamu menyembah. (QS. Al-baqarah 172).”
Muhammadiyah mengajak umat Islam untuk memahami hakekat Islam secara utuh. Konsep inilah yang menjadi landasan pokok dakwah Muhammadiyah. Umat Islam dituntun mengenal Islam tidak hanya sekedar konsep teoritis, melainkan harus diterjemahkan ke dalam seluruh aspek kehidupan sehari-hari termasuk dalam masalah makanan.
Kita mengenal dua macam istilah makanan dan minuman dalam Islam. Pertama halal berarti “diizinkan“ atau “dibolehkan”. Istilah ini dalam konotasi sehari-hari sering digunakan untuk merujuk kepada makanan dan minuman yang boleh dikonsumsi menurut Islam. Sedangkan dalam konteks yang lebih luas istilah halal merujuk kepada segala sesuatu yang diizinkan menurut hukum Islam.
Kedua haram adalah sebuah status hukum terhadap sesuatu dalam hukum Islam, yang konsekuensanya berupa dosa. Makanan atau minuman tertentu dapat memiliki status haram sehingga memakan san meminumnya juga berakibat dosa.
Setiap orang beriman diperintahkan oleh Allah SWT. untuk senantiasa mengkonsumsi makanan dan minuman yang halal lagi baik yaitu mengandung gizi dan vitamin yang cukup untuk kebutuhan tubuh. Dua hal di atas, baik disamping akan menyebabkan terjaganya kesehatan jasmani, juga akan semakin mendorong meningkatkan ketakwaan serta syukur kepada Allah SWT. Sebaliknya, makanan yang haram baik substansi mauoun cara mendapatkannya, meskipun secara lahiriyah mengandung gizi dan vitamin yang memadai, akan menumbuhkan perilaku yang buruk dan merusak, baik bagi diri dan keluarganya. Dari alam dunia bahkan sampai nanti di alam akhirat.
Rasulullah SAW. Bersabda : setiap daging yang tumbuh dari barang yang haram, maka nerakalah yang lebih utama tempatnya. (HR. Thabrani). Artinya yang haram itu akan menjadi darah dan kotor yang dapat mendorong perilaku jahat, saesat dan merusak.
Makanan maupun minuman termasuk binatang yang diharamkan secara zat, sangat mudah untuk diketahui, karena jumlahnya sangat sedikit dari jumlah yang ada, dan hampir semua orang mengetahuinya, yaitu : bangkai, darah, daging babi, binatang yang disembelih bukan karena Allah SWT. (kecuali dalam keadaan darurat) (QS. Al-Baqarah : 172-173), binatang yang mati bukan karena disembeli (QS. Al-Maidah : 3) dan khamar (QS. Al-Maidah : 90).
Disamping zatnya yang harus lebih diperhatikan juga sifat harta itu yang memerlukan perhatian, pikiran, hati dan keimanan untuk menentukan cara mendapatkannya. Misalnya tidak melalui penipuan, kerupsi, membungakan uang, menerima suap dan cara-cara bathil lainnya. Apalagi mengambil harta milik orang banyak yang seharusnya dijaga dan dimanfaatkan semaksimal mungkin untuk kepentingan dan kesejahteraan bersama.
Allah SWT. berfirman : Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain diantara kamu dngan jalanyang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian dari harta benda orang lain dengan (jalan berbuat) dosa padahal kamu sendiri mengetahui. (QS. Al-Baqarah : 188).
Barang yang tidak jelas kehalalannya (syubhat) saja dilarang untuk dikonsumsi atau dimiliki, apalagi yang jelas keharamannya. Disinilah nilai keimanan dan keislaman seseorang diuji. Bahkan doa yang dipanjatkan kepada Allah SWT. oleh seseorang walaupun dengan sangat sungguh-sungguh, akan tetapi orang itu bergelimangdengan makanan dan minuman yang haram, maka doa akan tertolak (HR. Muslim). Dan dalam hadits yang lain disebutkan bahwa kemabruran (diterima) atau kemardudan (ditolak) haji yang dilakukan oleh seseorang bergantung kepada biaya yang telah dikeluarkan untuk melaksanakan ibadah haji tersebut.
Demikian pula perilaku anak keturunan manusia sangat ditentukan oleh makanan yang dikonsumsinya. Oleh karena itu orang-orang Islam pasti akan selalu berusaha mendapatkan rizki yang halalan thayyibah, baik bendanya maupun cara memperoleh agar perilakunya istiqamah dalam kebajikan.
Terhadap sikap dan tingkah laku, pengaruh barang haram ini juga membuat jiwa tidak pernah tenang dan tentram, selalu gelisah, keluh kesah, diliputi rasa takut dan was-was karena selalu dipengaruhi oleh perasaan berdosa sebagai akibat dari darah dan dagingnya memang tumbuh dari benda-benda yang haram.
Rasul, Nabi dan orang-orang yang saleh menjadikan makanan dan minuman sebagai awal dari pola hidupnya. Dengan melalui latihan dan kebiasaan yang rutin, sehingga orang-orang saleh ini mempunyai alat untuk mendeteksai makanan dan minuman halal atau tidak. Sebagian hasil dari latihan jiwa ternyata mampu untuk mengetahui apa yang dikonsumsi akan memberiakn ketenangan kalau halal, dan menimbulkan goncangan yang luar biasa, apabila benda itu berasal dari yang haram.
Masalahnya kembali kepada ketiak kita mengkonsumsi yanghalal atau yang haram. Adakah perbedaan? Jika tidak ada, perlu latihan dan pembiasaan dalam pola hidup, agar sinyal pendeteksi yang halal atau yang haram dalam tubuh kita tetap on line.
ALKISAH
Seorang sufi muntah-muntah setelah makan siang. Ia bertanya-tanya di dalam hati, apa gerangan yang salah di dalam dirinya. Bertahun-tahun ia menempuh hidup secara teratur. Makan dan minumnya dalam jumlah yang diatur sesuai tuntunan biologis. Tak ada makan dan minum tanpa tuntutan gengsi maupun selera zaman. Ia berpendirian bahwa makan dan minum baginya cuma sebagai sarana memuji kebesaran Allah SWT. Cuma itu. Tak ada fungsi lain. Dan ia selalu sehat. Porsi, jenis dan fungsi makan yang ia tetapkan sudah benar. Tak ada sesuatu pun yang salah. Tapi mengapa sekarang ia muntah-muntah? Ia tidak masuk angin. Perutnya sedang tidak mulas, pokoknya badannya sehat.
Maka dipanggil pembantunya. Ia merasa bahwa dari si pembantu penjelasan bisa diperoleh. “Dari mana dibeli sayuran yang dimasak hari ini?”. Tanya sang sufi. Pembantunya melaporkan apa adanya. Tadi ia agak kesiangan ke pasar. Sayuran yang dijual di pasar sudah habis. Maklumlah pasar yang kecil lagi baru. Pedagang pun terbatas. Sebagian bahkan sudah pulang. “Untunglah digalang sawah tetangga kita ada daun kacang panjang. Saya memetiknya segenggam, itulah sayuran yang saya masak hari ini.” Jawab pembantu polos. Sang sufi mangguk-mangguk. Ia sekarang tahu jawabannya, daun kacang itulah penyebab muntah-muntahnya.
Selama ini ia hanya memakan makanan yang halal. Apa yang dimakan diperoleh secara halal. Tak ada barang gelap yang tak jelas status hukumnya. Ia tahu pembantunya salah. Tapi tak disalahkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar