Oleh: Drs. H. Aprizaldi
Artinya : Mereka diliputi kehinaan di mana saja mereka berada, kecuali jika mereka berpegang kepada tali (agama) Allah dan tali (perjanjian) dengan manusia, dan mereka kembali mendapat kemurkaan dari Allah dan mereka diliputi kerendahan. (QS. Ali Imran : 112)
Kalau ingin menyaksikan wajah cerah sumringah berhias senyum rekah dan bibir selalu memuji Asmaul Husna, berkelilinglah pada Hari Raya ini. Dijamin akan sulit bertemu dengan wajah suram, muram dan tanpa senyum. Yang dijumpai hanyalah wajah cerah, senyum dan ceria, hati yang bahagia, pandangan yang bersahaja sambil berucap Al-Hamdulillah dan tangan yang selalu ingin bersalaman.
Itulah salah satu keistimewaan Hari Raya Idul Fithri termasuk pada bulan Syawal tahun 1429 H ini yang dihayati dengan bersyukur dan bergembira.
Pada Hari Raya Idul Fithri ini secara spontan terjadi proses mengunjungi, bertegur sapa dan bershilaturrami satu sama lain.
Dalam bentuk yang lebih formal, shilaturrahmi diwujudkan dalam Syawalan atau Halal Bi Halal yang selalu dihiasi dan dilengkapi dengan sarapan yang lezat dan nikmat baik kebutuhan fisik maupun mental terkadang juga dimeriahkan dengan hiburan musik yang kadang kala sulit membedakan mana perintah dan mana larangan.
Pada seputar hari lebaran dan ini terjadi tiap tahun kita selalu menyaksikan keajaiban kemanusiaan, yang muncul di kalangan ummat Islam, semangat bershilaturrahmi yang begitu kuat mengalahkan rintangan apapun.
Mereka yang tidak mudik menyempatkan diri keliling kampung atau bahkan keliling kota, bershilaturrahmi dengan tetangga, kerabat dan saudara. Mereka yang masih memiliki saudara atau orang tua di kampung, berusaha dengan segala daya dan upaya untuk mudik. Mereka bertemu, berjabat tangan untuk saling memaafkan sekaligus mengentalkan kembali persaudaraan.
Peristiwa rekonsiliasi (ishlah) kultural ini terjadi begitu saja tanpa ada seorang pun, baik tokoh agama maupun penguasa, yang memaksakannya. Di dalam Al-Quran maupun Hadits tidak ada anjuran spesifik soal tradisi itu. Karena itu wajar jika tradisi saling mengunjungi dan saling berhalal bi halal di hari lebaran hanya ada di nusantara kita Indonesia tercinta ini.
Meski begitu ummat Islam Indonesia umumnya menghayati tradisi peninggalan Wali Songo (Sembilan) tersebut sebagai bahagian yang tak terpisahkan dari Hari Raya Idul Fithri yang tidak hanya penuh kemenangan, tetapi juga saat terbaik untuk membersihkan hati dan seluruh diri.
Seorang yang telah berhasil menjalankan ibadah Puasa Ramadhan sebulan penuh, dan menyempurnakannya dengan Zakat Fithrah, masih akan tetap merasa kurang jika belum saling bermaafan dengan kawan, tetangga, jiran, handai taulan dan relasi apalagi dengan orang tua. Hati masih akan tetap merasa hampa jika pada saat lebaran tidak berada dalam suasana shilaturrahmi yang penuh tawa dan kehangatan persaudaraan.
Para elit ummat dimasa lalu secara futuristik agaknya sudah melihat kebutuhan ummat di masa depan dan kini, ketika mereka cenderung terpecah-belah oleh berbagai perbedaan dan pergesekan sosial, ekonomi, politik dan tanda gambar. Jawaban dari persoalan itu adalah tradisi shilaturrahmi dan saling memaafkan di hari Lebaran. Melalui tradisi ini kesalahan mendapat jalan untuk dimaafkan, dendam menemukan pintu untuk dilupakan, dan ketegangan sosialpun menemukan saat untuk dicairkan. Melalui tardisi itu pula, keretakan antar ummat dapat direkatkan dan relasi social yang positif dapat dibangun kembali.
Karena itu tradisi tersebut tidak sekedar Islami saja, tetapi juga mengandung pesan-pesan yang sangat universal untuk membangun harmoni kehidupan seluruh ummat manusia. Islam sendiri melalui prinsip Hablum Minannas sangat menekankan akan pentingnya harmonisasi itu. Tidak hanya antar ummat Islam saja tetapi dengan seluruh lapisan ummat manusia. Saling menghormati dan menghargai perbedaan masing-masing termasuk dalam internal dan eksternal persyarikatan Muhammadiyah.
Begitu pentingnya relasi horizontal itu sampai Allah menegaskan bahwa tidak akan mengampuni dosa sosial sebelum yang meminta maaf langsung kepada yang bersangkutan.
Karena seorang Muslim yang baik akan pantang menyakiti orang lain. Dan karena itu pula salah besar jika ada anggapan bahwa Islam agama teroris. Sebab ajaran Islam sangat tidak menyepakati tindakan-tindakan kekerasan apalagi jika korbannya orang yang tidak berdosa.
Tradisi shilaturrahmi dan saling memaafkan di hari lebaran merupakan salah satu sarana yang efektif untuk menjaga harmoni kehidupan seperti itu. Dan itu salah satu makna Islam sebagai Rahmatan Lil’alamin.
Acara Halal bi Halal ini banyak dilaksanakan oleh berbagai kalangan mulai dari strata yang paling bawah sampai tingkat nasional.
Pada saat shilaturrahmi ini bumi seakan seperti damai selama-lamanya, karena saling merelakan kesalahan, sakit hati ini dicabut, dendam dilebur menjadi senyum manis, permusuhan menguap keudara dan bayangan surga ada dipelupuk mata. Kata Nabi ada lima hal yang membuat damai di bumi ini: yaitu ukhuwah yang terjalin antara makhluk, manusia, senegara dan bangsa, seketurunan dan antara ummat Islam.
Terkadang shilaturahmi tidak berjalan lama, setelah kembali kepada kehidupan masing-masing mulai pula beranjak dari dunia surgawi. Orang kembali berbuat kesalahan. Sakit hari kembali bersemayam, dendan terpendam, permusuhan dikibarkan, cacimaki menjadi tradisi dan seringai menjadi hiasan bibir.
Dalam memasuki era Pemilu tahun 2009 nanti ketika kehidupan politik dipercepat, pergaulan bisa terbelah menurut afiliasi politiknya masing-masing. Maka melalui fasilitas Halal bi Halal ini adalah arena untuk menjauhi sifat yang tidak terpuji itu dan perlu dipupuk selalu sampai hari pemilihan umum yang sudah di ambang pintu.Di Bulan Syawal 1429 H ini hendak kita termasuk orang yang Hablum Minallah dan Hablum Minannas yaitu selalu menebarkan ketenangan, ketentraman dan kedamaian dengan prinsip shilaturrahmi.
Senin, 13 April 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar