Senin, 13 April 2009

‘AISYIYAH

Oleh: Yosrizal gavar

“Dan orang-orang yangt beriman laki-laki dan perempuan sebagian dari mereka(adalah), menjadi penolong bagi sebagian yang lain.Mereka menyuruh (mengerjakan)yang ma’ruf mencegah dari yang mungkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan mereka taat kepad Allah dan Rasulnya. Mereka akan diberi rahmat oleh Allah, sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”. (QS. Al-Taubah (9):71)


Yogyakarta tahun 1800 sampai dengan 1900-an pandangan masyarakat pada waktu itu kaum wanita tidak diperbolehkan keluar rumah, harus tinggal di kamar atau di dapur, kaum perempuanpun tidak perlu bersekolah, karena dipandang hanya akan menurunkan kesusilaan, karena itu pendidiikan yang diterima hanyalah pendidikan agama dan keterampilan-keterampilan yang dapat dikerjakan di rumah.
KH.Ahmad Dahlan setelah mendirikan Muhammadiyah, memperhatikan keterbelakangan kaum wanita pada waktu itu, bersama dengan istrinya Siti Walidah beliau mengadakan pengajian khusus perempuan. KH.Ahmad Dahlan selain mengajarkan Al Qur’an dan pelajaran agama, juga mengajak kepada para muridnya untuk mulai berfikir tentang kemasyarakatan.

Setelah berjalan sekian lama pengajian anak-anak perempuan ini diberi nama dengan “Sopo Tresno” yang artinya siapa suka atau siapa cinta, dalam sekian waktu pengajian ini hanyalah sebuah pengajian biasa tidak merupakan gerakan.

Kemudian timbullah dalam fikiran KH.Ahmad Dahlan untuk lebih mengembangkan pengajian ini. Maka diadakanlah pertemuan di rumah KH.Ahmad Dahlan yang dihadiri oleh KH.Mokhtar, Ki Bagus Hadikusuma, KH.Fakhrudin, dan pengurus Muhammadiyah yang lain. Ada satu usulan agar organisasi ini diberi nama FATIMAH, tetapi usul ini tidak diterima oleh rapat. Kemudian oleh KH.Fakhrudin diusulkanlah nama AISYIYAH usulan ini diterima oleh yang hadir pada waktu itu, sehingga berubahlah nama “Sopo Tresno” menjadi ‘AISYIYAH.

Setelah nama ‘Aisyiyah disetujui secara aklamasi, lalu diadakan peresmian pada tanggal 27 Rajab 1335 H bertepatan dengan 19 Mei 1917 M, bersamaan dengan peringatan Isra’ dan Mi’raj Nabi Muhammad SAW.

Dalam hal administrasi dan organisasi ‘Aisyiyah dibimbing oleh KH.Mokhtar, sedangkan dari sisi keagamaan dan ruh Islam langsung oleh KH.Ahmad Dahlan, sebagai bekal perjuangan sebagai berikut :

1. Dengan ikhlas hati menunaikan tugasnya sebagai wanita Islam, sesuai bakat dan kecakapannya, tidak ingin disanjung, dan tidak mundur selangkah karena celaan.
2. Penuh keinsafan bahwa beramal itu harus berilmu.
3. Jangan mengadakan alasan yang tidak dianggap sah oleh Allah SWT.
4. Membulatkan tekad untuk membela kesucian Islam.
5. Menjaga persaudaraan dan kesatuan sekerja dan seperjuangan.

Setelah menjadi ‘Aisyiyah gerakan perempuan ini semakin sistimatis dan terprogram, selain mengadakan kursus-kursus, ‘Aisyiyah juga mengirimkan mubalighat-mubalighat ke pelosok-pelosok kampung pada bulan puasa untuk melaksanakan shalat tarawih, mengadakan perayaan hari besar agama Islam, mengadakan keterampilan-keterampilan kepada para perempuan.

Pada tahun 1922 ‘Aisyiyah resmi menjadi bagian dari Muhammadiyah, menjadi bagian perempuan Muhammadiyah, selanjutnya gerakan ‘Aisyiyah bersinergi dengan gerakan dan amal-amal yang dilakukan Muhammadiyah.

PERANAN SITI WALIDAH
(Nyai AHMAD DAHLAN)

Beliau dilahirkan di Yogyakarta tahun 1872 M, di tengah-tengah keluarga santri yang taat beragama. Ayahnya bernama H.Muhammad Fadlil bin Kiai Penghulu Haji Ibrahim bin Kiai Muhammad Hasan Pengkol bin Kiai Muhammad Ngraden Pengkol. Sementara ibunya dikenal dengan panggilan Nyai Mas.

Setelah menikah dengan KH.Ahmad Dahlan, beliau mulai aktif mengikuti gerakan-gerakan yang dilakukan oleh suaminya tersebut, diantaranya pada tahun 1914 mendirikan kelompok pengajian perempuan “Sopo Tresno”. Nyai Dahlan tercatat sebagai salah seorang perempuan pertama di Indonesia yang berjuang dalam pergerakan wanita.

Setelah berdirinya ‘Aisyiyah, Nyai Dahlan secara serius berkecimpung dalam mengembangkan ‘Aisyiyah, beliau pernah diangkat sebagai ketua Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah pada tahun : 1921-1926, dan 1930.

Kegiatan yang dilakukan Nyai Dahlan sangatlah padat dan sibuknya. Ia rajin berkeliling uintuk berdakwah dan membimbing anggota ‘Aisyiyah di daerah-daerah, tetapi walaupun begitu tugas dan fungsinya sebagai istri dan ibu rumah tangga tidaklah menjadi terbengkalai dan dilalaikannya.

Suatu ketika datanglah murid dari KH.Ahmad Dahlan menemui Nyai Dahlan, murid tersebut meminta kepada beliau agar meminta kepada KH.Ahmad Dahlan untuk beristirahat dikarenakan kesehatannya yang sudah menurun. Pesan tersebut disampaikannya kepada KH.Ahmad Dahlan. KH.Ahmad Dahlan kecewa mendengar permintaan istrinya supaya ia berhenti dari kegiatannya, bagi Ahmad Dahlan berhenti dalam dakwah berarti berhenti pula dalam beramal, padahal ia ingin terus bekerja dan beramal. Dengan menitikkan air mata Nyai Dahlan mengatakan, bahwa ia tidak bermaksud untuk menghalangi suaminya beramal, tetapi untuk memperhatikan kesehatannya.

Nyai Siti Walidah Ahmad Dahlan pulang ke rahmatullah pada hari jum’at tanggal 31 mei 1946 pukul 13.00 WIB, dimakamkan di belakang masjid Besar Kauman Yogyakarta.

Atas jasa-jasanya terhadap bangsa, negara khususnya, memajukan kaum perempuan di Indonesia, pemerintah menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada Nyai Siti Walidah Ahmad Dahlan, melalui SK Presiden RI No.042/TK/Tahun 1971 tanggal 22 September 1971.

(Sumber bacaan Ensiklopedi Muhammadiyah terbitan Majelis Pendidikan Dasar dan Menengah PP.Muhammadiyah; 2005)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar