Oleh: Yosrizal Gavar
Menyambut Pemilu tanggal 9 April 2009 nanti, kami akan mengajak pembaca untuk mengingat kembali ijtihad yang pernah diambil oleh Persyarikatan Muhammadiyah dalam bidang politik, yaitu Muhammadiyah pernah membentuk partai, berkecimpung dalam dalam partai baik sebagai anggota maupun sekedar pelopornya. Tulisan ini akan terdiri dari 3 bagian yaitu tentang Masyumi,Parmusi dan PAN.
MASYUMI BERDIRI
Pada masa Jepang, cikal bakal Masyumi adalah bermula dari didirikannya MIAI (Majelis Islam A’la Indonesia), didirikan oleh tokoh Muhammadiyah, NU dan SI, pada tanggal 21-9-1937. Mereka adalah : KH. Ahmad Dahlan, KH. Mas Mansur (Muhammadiyah), KH. Wahab Hasbullah (NU) dan W. Wondoamiseno (SI).
Di zaman Jepang MIAI dibubarkan karena dinilai merupakan suatu organisasi yang anti Jepang, pembubaran tersebut terjadi pada bulan Oktober 1943. kemudian sebagai gantinya dibentuklah Majelis Syura Muslimin Indonesia (MASYUMI), Muhammadiyah dan NU tetap sebagai pendukung utamanya.
Pada masa kemerdekaan, Maklumat Pemerintah Indonesia No. X tanggal 3 November 1945, yang ditandatangani oleh Wakil Presiden Moh.Hatta, tentang anjuran membentuk Partai Politik, disambut hangat oleh kaum muslimin. Untuk itu dengan didukung oleh tokoh -tokoh Muhammadiyah, NU, PSII, dan PII (Partai Islam Indonesia).
Dalam muktamar yang diadakan di gedung Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah, Yogyakarta pada tanggal 7-11-1945, dalam Muktamar inilah lahirnya Masyumi. Diputuskan dalam Muktamar tersebut bahwa Masyumi adalah satu - satunya partai Islam yang diakui dan yang diperjuangkan oleh umat Islam.
PARTAI ISLAM
Sebagai satu - satunya partai yang mewakili umat Islam, Masyumi menjadi partai besar di Indonesia, dalam pemilu regional yang diadakan di beberapa daerah di Jawa pada tahun 1946 dan 1951, Masyumi memperoleh mayoritas mutlak. Hal ini dapat terjadi karena Masyumi didukung oleh organisasi keagamaan yang menjadi anggota istimewa dan anggota organisasi partai Masyumi, yaitu Muhammadiyah, NU, Al-Jamiatul Wasliyah, PUII, Persis, Al-Irsyad, PUSA, PSII, PII, Al-Ittihadiyah, Mathla’ul Anwar dan Nahdatul Wathan, juga didukung oleh organisasi bersenjata Hizbullah dan Sabilillah dan organisasi bentukan Masyumi sendiri, sedangkan Ahmadiyah Lahore tidak diterima karena dianggap bukan bagian dari Islam.
GONCANGAN
Perpecahan tidak dapat dihindari karena godaan politik, menjadikan pilar-pilar penyangga Masyumi menjadi goyah, mereka menyatakan keluar dari keanggotaan Masyumi, dikarenakan tawaran pihak lain dirasakan lebih menguntungkan dan lebih menjanjikan.
PSII keluar dari Masyumi Juli 1947 dan membentuk partai sendiri, NU menyusul keluar pada bulan Mei 1952, keluarnya pilar-pilar yang penopang Masyumi sedikit banyak mengurangi kekuatannya, hingga sewaktu diadakan PEMILU pada 29 September 1955, Masyumi mendapatkan 57 kursi sejajar dengan PNI.
Goncangan yang paling besar adalah dibentuknya PRRI (Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia), dengan didukung oleh beberapa panglima militer seperti Sumatera Utara, Tengah, Selatan dan Sulawesi Utara, dan selatan tokoh-tokoh Masyumi seperti: M.Natsir, Syafrudin Prawiranegara, Burhanudin Harahap dan tokoh dari PSI Sumitro Djojohadikusumo memproklamirkan berdirinya PRRI di Bukittinggi.
Di dalam PRRI Syafrudin Prawiranegara yang pernah menjadi presiden (pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI), diangkat menjadi presiden PRRI, M. Natsir sebagai juru bicara, dan Burhanudin Harahap menjadi Menteri Pertahanan dan Kehakiman.
MUHAMMADIYAH DAN MASYUMI
Bubarnya Masyumi, yang menjadi wadah umat Islam termasuk Muhammadiyah dalam menyalurkan aspirasi politiknya, mengakibatkan timbulnya fikiran-fikiran supaya Muhammadiyash keluar daari Masyumi dan membentuk partai sendiri, yaitu partai Muhammadiyah.
HAMKA dalam bukunya Muhammadiyah - Masyumi memaparkan, bahwa usaha - usaha untuk memisahkan Muhammadiyah dari Masyumi telah berlangsung sejak lama, sebagai kekuatan utama dan anggota istimewa dalam Masyumi.
Pada Sidang Majelis Tanwir Muhammadiyah di Kaliurang tanggal 31 mei sampai 3 juni 1956, (majelis tanwir adalah majelis yang tertinggi setelah Muktamar), dibicarakanlah tentang jadi tidaknya Muhammadiyah menjadi partai politik atau dengan kata lain keluar dari Masyumi. Kami nukilkan ucapan Buya HAMKA dalam bukunya di atas yang merupakan pidato penyampaian pendapat dari HAMKA :
“Kalau Muhammadiyah dijadikan partai politik, saya akan keluar dari partai politik muhammadiyah itu!”, gambarkan dan kenangkanlah oleh saudara - saudara, bagaimana kesengsaraan dan kesusahan yang kita alami selama puluhan tahun, untuk menegakkan ukhuwah yang besar ini, sehingga kalau sekarang timbul permasalahan - permasalahan di daerah - daerah, sehingga timbul fikiran unatuk meruntuhkannya dengan tangan kita sendiri!!.
Dan kalau itu kejadian musuh akan bertepuk tangan dan bergembira karena maksudnya sudah tercapai, dan akan dicatat dalam sejarah Muhammadiyah sudah kena rayu!!!.
Tidak saudara - saudara Muhammadiyah tidak dapat dirayu!!!!. Dalam Muhammadiyah masih ada Rijaalun rasyid, masih ada Rijaalun rasyidin.
Yang mendirikan Masyumi adalah kita, bukan orang lain, mana yang belum beres kita bereskan, pemimpin -pemimpin Masyumi itu kita yang mengangkatnya kalau mereka melenceng kita luruskan, kalau masih melenceng kita berhentikan”.
Akhirnya setelah bersidang selama dua hari dua malam dicapai suatu kesepakatan bahwa Muhammadiyah tetap dalam Masyumi.
M. NATSIR
Beliau dilahirkan pada tanggal 17 Juli 1908 di Kampung Jembatan Berukir, Alahan Panjang Sumatera Barat, putra dari Sutan Saripado dan Khadijah.
Sebagai seorang ketua Masyumi yang pertama beliau telah menanamkan nilai-nilai tentang sebuah negara Islam, dalam bukunya Islam sebagai dasar negara, kecemasan M. Natsir terhadap sekularisme yang menafikkan agama, beliau berprinsip umat Islam harus mampu berpolitik, sebab melalui politik itulah nilai-nilai keislaman dapat diterapkan dalam kehidupan bernegara, tentu yang beliau maksudkan adalah politik yang Islami yang telah beliau contohkan dan lakukan.
M. Natsir wafat pada hari Sabtu, 14 Sya’ban 1413 H/6 Februari 1993, setelah sekian lama beliau menyandang stigma pemberontak PRRI dan pengkritik Orde Baru dengan Petisi 50 nya. Akhirnya datang juga pengakuan pemerintah, berdasarkan putusan sidang Dewan Tanda - Tanda Kehormatan RI pada tanggal 30 Oktober 2008 dan Kepres No. 041/TK/TH.2008 tanggal 6 November 2008 ”The Founding Father” ini memperoleh gelar Pahlawan Nasional. “Astagfirullah “ itulah petuah Rasulullah apabila kita menerima pujian dari orang lain.
Senin, 13 April 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Graton Rouge Casino & Hotel, Tunica Resorts - MapyRO
BalasHapusFind your way 오산 출장샵 around the 목포 출장마사지 casino, find where everything 이천 출장마사지 is located with MapyR! Find the best places to stay and play, things to 구리 출장마사지 do and concerts that 출장마사지